Nilai Sesungguhnya
Sejak
seseorang menginjak bangku sekolah, pasti akan kenal dengan yang namanya nilai
akademik, mungkin tidak untuk anak selevel TK atau playgroup. Orang akan merasa bangga ketika di rapor ada angka 90
atau 95 syukur syukur 100. Kalau dulu masih zaman SD anak anak akan sangat malu
jika menemui angka merah di raporya. Kalau zaman sekarang nilai merah itu di
sebut KKM. Malu meskipun pada satu lembar berikutnya ada barisan penghargaan sepanjang
daftar belanjaan ibu di supermarket. Malu meskipun kolom kolom organisasi itu
penuh nama dan jabatan organisasi mereka. Masih malu karena nilanya merah.
Sampai sampai bingung kenapa demikian. Banyak yang bilang “ saya sudah belajar,
tapi gitu gitu terus”. Apalagi nilai merah itu masih tetap ada di penghujung
ujian. Bingung setengah mati pastinya. Semua guru mata pelajaran akan ikut
dibingungkan untuk menaikan nilainya melebihi nilai minimal. Belajar tanpa
henti. Sedia kopi di meja belajar. Doa tiap malam sambil menangis. Sampai
sampai di catat apa yang mau di minta ke Tuhan. Panjang sekali catatannya
melebihi daftar belanjaan. Tapi pertanyaaannya kenapa baru sekarang? Kenapa
baru belajar ketika sadar akan kelulusan?
Tidak
ada yang salah dengan belajar keras. Gak ada yang salah dengan mendapatkan
nilai yang cukup syukur syukur sempurna. Gak ada yang salah jika aktif tanya ke
guru tentang nilai akademik kita. Toh hal itu sangat bermanfaat nantinya untuk
mejamin stabilitas kita dalam belajar, dan pastinya nilai yang bagus dan stabil
akan sangat cukup utuk mendapatkan universitas impian bagi pelajar SMA.
Terus
dimana letak kesalahannya? Tentu kita tahu yang berlebihan pasti tidak baik.
Demikian juga dengan berlebihan belajar, berlebihan meminta, berlebihan memikirkan.
Saking berlebihannya mungkin bisa membawa ke hal negatif. Seperti hilangnya
kejujuran, kebersamaan,keterbukaan, dan rasa saling kasih. Hal hal sepenting
itu justru mulai hilang di penghujung masa sekolah.
Hal hal yang seharusnya
justru didapatkan karena mungkin tidak akan ada lagi di masa mendatang. Apa
yang salah dengan pelajar paling senior di jenjang SMA ini? Kenapa hanya ada
angka angka tanpa makna di pikiran mereka. Akankah mereka menjadi heyna yang
buas yang menakhlukan satu sama lain. Wajarkah itu?
Nilai
akademik dalam sistem pendidikan Indonesia sangat diprioritaskan. Baik itu
nilai UAN,UAS,dan nilai nilai lainnya. Tes seleksi sekolah semua sudah canggih.
Tinggal kirimkan berkas nilai lalu akan ada pengumuman sebulan atau beberapa
minggu setelahnya akankah pendaftar diterima atau tidak. Sama pentingnya seperti
pelajar SMA yang berusaha keras meningkatkan nilainya agar masuk ke universitas
pilihan melaui jalur SNMPTN. Jika nilai turun sedikit saja, pasti akan muncul
hujatan hujatan masa lalu. Mulai dari menyalahkan organisasi karena
membuat konsentrasi belajar turun, menyalahkan
guru karena tidak jelas menerangkan, atau langsung memutuskan kekasih yang dia
anggap sebagai pengalih fokus. Semua di anggap salah.
Berbagai
cara pun dilakukan untuk meningkaatkan nilai. Dari cara yang bijakana seperti
belajar terjadwal, mencatat semua materi yang di berikan oleh guru, belajar
kelompok, browsing soal soal untuk
ujian. Sampai cara yang kotor seperti membuka buku saat ulangan, mencontek
tugas teman, tidak menginformasikan jadwal ulangan harian kepada teman
temannya,sampai sampai kejahatan psikologis juga dilakukan. Tidak sungkan
mereka menjatuhkan mental teman dengan memuji nilai teman namun akhirnya
menghujat nilai yang di dapatkan temannya, mengaku bahwa ia bodoh
meski nilai yang di dapat nyaris
100. Hal ini bukan lagi pemandangan aneh di kalangan pelajar kita. Sudah
membudaya sehingga kontrol seperti apapun tidak akan mempan.
Tidak
hanya siswa atau siswi yang ikut menyebarkan budaya kotor tersebut. Guru pun
punya andil dalam menyebarkan budaya ini. Mungkin tidak semua sekolah begitu,
tapi sebagian sekolah mempunyai guru yang mungkin nyambi jadi mata mata jawaban ujian siswa sekolah lain. Seperti yang
pernah saya alami sewaktu ujian nasional saat masih SMP.
Saat
itu ada seorang guru yang daripenampilannya semua orang akan hormat kepadanya.
Beliau adalah pengawas UAN SMP. Beliau melarang kami menyontek. Tapi tiba tiba
salah seorang teman saya dipaksa untuk memberikan jawabannya. Sontak saya
kaget. Diam lalu merenung. Tadi itu guru apa intel sewaan pelajar kaya diluar
sana yang malas belajar?
Ki
Hajar dewantara pernah berkata bahwa “ pendidikan umumnya berati daya upaya
untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect),
dan jasmani anak anak selaras dengan alam dan masyrakatnya”. Namun setelah kita lihat kenyataan yang
terjadi saya jadi berpikir dua kali. Jangan jangan pelajar SMA sekarang yang
akan lulus sebentar lagi yang telah mengenyam dunia pendidikan bertahun tahun
justru belum tahu apa makna pendidikan sebenarnya. Atau mereka salah pengertian
bahwa pendidikan ialah tempat memancing nilai untuk melanjutkan ke jenjang
berikutnya, atau berpikir bahwa pendidikan ialah ajang untuk membesarkan nama
dan status sosial seseorang dengan cara membuktikan pada dunia bahwa ia
peringkat pertama, mendapatkan universitas keren, dan di anggap pintar dengan
cara memajang rapornya yang penuh niai 100.
Budaya
ini yang salah. Harusnya para tetua kita menanamkan pengertian pendidikan
sebelum kita di bangku sekolaah. Meyakinkan pada kita bahwa pendidikan itu
bukan ajang mencari kesuksesan dengan nilai tinggi. Andaikan mereka benar benar paham makna sekolah
sebenarnya, mungkin tidak akan ada tragedi curang dalam ujian, berlebihan dalam
belajar, ingin menang sendiri,dan ambisi yang berlebihan.
Saya
mempunyai pengalaman pribadi yang telah membuka mata saya bahwa nilai itu bukan
segalanya. Ada salah seorang guru dengan kepibadian sederhananya mengungkap
nilai kehidupan yang amat dalam buat saya. Pas sekali untuk saya karena status
saya yang saat ini sebagai pelajar galau. Beliau dengan gaya khasnya berkata
bahwa “ nilai itu penting, tapi gak penting penting amat”. Nilai itu penting tapi bukanlah suatu
prioritas.
Beliau
bercerita bahwa dulu beliau termasuk siswa yang kurang pintar. Nilainya
terendah sekelas dan nyaris tidak lulus. Dengan kenyataan seperti itu semua
orang akan berpikiran bahwa beliau sia-sia saja sekolah kalau tidak dapat apa-apa.
tapi anggapan orang orang itu salah. Justru beliau mendapatkan sesuatu yang
bahkan tidak didapatkan oleh siswa siswi angkuh dengan nilai 100 dirapornya.
Beliau mendapatkan nilai yang lebih sempurna dari nilai rapor pelajar pintar
lainnya. Beliau mendapatkan nilai kehidupan yang teramat besar dari sekolah.
Nilai yang masih sangat berlaku untuk hidup kedepannya. Nilai yang tidak hilang
begitu saja maknanya setelah mendapatkan universitas pilihannya. Beliau
mendapatkan nilai kejujuran, nilai kebersamaan, nilai persahabatan, nilai kasih
sayang, nilai tolong menolong, dan nilai nilai yang jarang ditemukan para
pelajar yang tidak ingin membuka diri pada dunia indah yang sebenarnya yang
telah di siapkan alam pada jenjang SMA.
Saat
ini beliau telah sukses dalam berkarier. Lebih sukses dari teman temannya yang
dulu mempunyai nilai akademik nyaris sempurna. Nilai nilai kecil yang terkadang
disepeelekan itulah yang membuat beliau gampang melewati cobaan hidup.
Kita
tidak bisa menyalahkan pelajar SMA yang masih memburu nilai. Karena mungkin
faktor psikologis yang tertekan membuat mereka buta akan makna belajaar
sesungguhnya. Itu tadi sedikit cerita yang memperkuat keyakinan saya bahwa
nilai akademik bukan segalanya. Memang perlu untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang berikutnya, namun tidak seharusnya dijadikan prioritas yang paling
utama sehingga lupa keindahan masa SMA yang sejatinya. Sukses itu bukan karena
nilai akademik. Sukses itu bukan karena meraih nilai 100 di setiap semesternya.
Sukses itu bukan menjadi anak yang bisa mengalahkan temannya untuk menjadi
juara kelas. Sukses itu bukan menghalalkan segala cara untuk mendapatkaan hasil
yang maksimal. Karena sesungguhnya sukses itu menyertai orang orang yang
berusaha dengan optimal. Yang percaya mereka bisa dengan kemampuan yang
dimilikinya.
Guru
mengaji saya sering menjelaskan tentang bagaimana cara untuk mendapatkan
kesuksesan dalam hidup. Yakni dengan cara berdoa dan berusaha. Berdoa disisni
tidak boleh diartikan denganberdoa yang berlebihan. Memohon yang berlebihan kepada
Tuhan dosa hukumnya. Itu layaknya mendikte Tuhan. Memohon-mohon kepada Tuhan
agar memberikan nilai 100,menempatkan kita pada universitas terbaik di
Indonesia, meminta agar dijadikan peraih nilai terbaik saat UAN. Tidak salah
sebenarnya. Yang salah jika di sertai embel-embel
kalau tidak terkabual saya akan begini dan begitu. Mengancam Tuhan itu
namanya. Alangkah baiknya jika kita berdoa agar Tuhan memberikan jalan yang
terbaik untuk kita. Tidak semua doa dikabulkan. Karena akan disesuaikan pada
kita.
Dalam
berusaha juga demikian. Kita berusaha yang optimal saja. Berusaha sesuai
kemampuan. Tapi bukan berarti bermalas-malasan. Karena kita sadari bahwa malas
bukanlah kata sifat yang cocok untuk semua orang. Apalagi untuk yang akan menghadapi UAN dan tes seleksi ke
perguruan tinggi.
Jadi,
sebagai seorang pelajar khususnya siswa siswi kelas 3 SMA yang nantinya akan
menghadapi tes seleksi masuk ke perguruan tinggi, nilai itu penting namun
jangan dijadikan prioritas yang bisa membuat kita lupa makna sekolah itu
sendiri. Masih banyak nilai kehidupan yang harus kita pelajari. Nilai nilai
yang mampu mengiringi langkah kita dikehidupan selanjutnya. Belajarlah yang
baik dan sesuai kewajaran. Begitu juga berusahalah untuk mendapatkan hasil yang
optimal dengan jalan yang baik dan benar. Jalan yang tidak akan merugikan
banyak orang. Jalan yang justru bisa mengajak pelajar lainnya pada kesuksesan
yang hakiki. Sebaiknya pelajar sekarang mulai menyuarakan misi-misi untuk
mengubah kebudayaan pelajar Indonesia yang kotor menjadi kebudayaan yang indah.
Kebudayaan jujur, percaya diri, kerjasama, dan optimis. Kelak jika misi ini
berhasil maka dunia pendidikan di Indonesia tidak akan menjadi suram ataupun
menjadi hantu untuk pelajarnya. Justru akan menjadi ladang ilmu yang dengan
suka cita semua akan berduyun duyun mencarinya dengan perasaan ikhlas dan
bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar